PENDAHULUAN
“Obate ati iku Qur’an. Dadi, lek loro balekno nang Qur’an, woco o sing akeh, ben penyakite ilang.” Artinya, “Obatnya hati itu Qur’an. Jadi, kalau sakit kembalikan ke Qur’an, baca yang banyak, biar penyakitnya hilang.” Begitulah salah satu dawuh dari Ummul Ma’had Asy-Syadzili, Simbah Nyai Hj. Rohmah Marzuki, kisah hidup beliau penuh keteladanan, cinta beliau terhadap Al-Qur’an membuat siapapun pencintanya iri. Bahkan, hingga memasuki usia yang sangat senjapun beliau tetap belajar Al-Qur’an. Seorang istri yang telah ditinggal suaminya wafat, namun tetap pantang menyerah untuk memberikan kesembilan putra dan putrinya pendidikan yang layak, mencetak mereka hingga menjadi penerus yang pantas untuk mendiang suami, yakni KH. Ahmad Syadzili Muhdlor. Dari tangan beliaulah puluhan lembaga dibawah bendera Asy-Syadzili berkibar dimana-mana. Gedung-gedung tersebut menjadi saksi bisu perjuangan tangan lembut dari Ummul Ma’hadnya, seakan-akan mempertegaskan bahwa Simbah Nyai Hj. Siti Rohmah Marzuki adalah sang wanita tangguh pejuang Al-Qur’an.
MASA KECIL
Simbah Nyai Hj. Siti Rohmah Marzuki biasa dipanggil dengan sebutan Nyai Rohmah adalah putri dari pasangan H. Marzuki dan Hj. Nasihah, yang lahir pada hari Kamis, 8 Ramadhan 1364 H. Atau bertepatan dengan tanggal 16 Agustus 1945 M. Sehari sebelum kemerdekaan Indonesia. H. Marzuki sendiri merupakan seorang dermawan yang kaya raya, shalih, serta sangat mencintai para ulama.
Nyai Rohmah tumbuh cerdas dengan semangat mencari ilmu yang sangat tinggi, sehingga saat berusia 9 tahun, beliau menyampaikan keinginannya untuk pergi mondok. “Bah, mondok. Bah, mondok.” (Abah, saya ingin mondok), ucapnya kepada Haji Marzuki. Haji Marzuki tentu sangat senang dengan semangat putrinya untuk mencari ilmu. Tapi beliau memiliki rencana lain yang lebih baik. “Tak golekno guru dewe.” (Aku carikan guru sendiri). Setelah mendengar jawaban dari sang abah, Siti Rohmah girangnya bukan main. Suatu ketika, ayah beliau mendengar kabar bahwa seorang alim dan ahli Al-Qur’an yang juga merupakan menantu dari Syaikhul Huffadz KH. Munawwar Nur, baru saja ditinggal wafat istrinya. Timbullah keinginan sang ayah untuk menjadikan sang alim tersebut sebagai menantu. Di antara putri-putrinya, hanya beliau yang paling besar dan belum menikah, meski usianya masih anak-anak.
MENJADI ISTRI SANG HAMILUL QUR'AN
Kebahagiaan masa kanak-kanak Nyai Rohmah pun terenggut karena harus menikah dengan pria yang sudah tua dan telah memiliki tiga orang anak. Saat itu, banyak orang menasihati agar beliau menolak perjodohan tersebut. Namun, setelah mengetahui bahwa calon suaminya adalah seorang yang alim dan hafal Al-Qur’an, beliau tidak menolak perjodohan itu, dengan harapan dapat belajar banyak dari suaminya kelak.
Pada tahun 1959 pernikahan itu diberlangsungkan, namun ada hal luar biasa yang terjadi setelahnya. Selama satu tahun pertama pernikahan, Nyai Rohmah yang masih sangat belia belum mau mendekat kepada suaminya, kecuali saat mengaji. Seusai mengaji, beliau akan kembali menjaga jarak. Sikap ini bukan karena kurangnya rasa hormat kepada Kyai Syadzili, melainkan karena usia beliau yang masih sangat muda dan belum sepenuhnya memahami makna sebuah pernikahan.
Barulah setelah satu tahun, perlahan hati Nyai Rohmah luluh dan menerima kehadiran Kyai Syadzili sepenuhnya. Sejak saat itu, terciptalah rumah tangga yang bahagia, meski harus dijalani dengan segala keterbatasan ekonomi. Meskipun beliau adalah putri dari keluarga kaya raya, H. Marzuki hanya memberikan sebuah rumah kecil bekas gudang dan sepetak tanah yang diwakafkan kepada menantunya. Bukan sebagai pribadi, melainkan sebagai imam masjid.
UJIAN DALAM BERUMAH TANGGA
Ketika Allah menganugerahkan Kyai Syadzili dan Nyai Rohmah putra dan putri, justru di situlah puncak ujian hidup datang. Masa-masa krisis ekonomi melanda keluarga kecil ini, hingga untuk sekadar makan pun mereka seringkali kesulitan. Meski Kyai Syadzili yang tangguh dan pekerja keras telah mencoba berbagai usaha untuk mencukupi kebutuhan keluarga, namun keadaan tak kunjung membaik. Di tengah keterhimpitan itu, Nyai Rohmah merasa khawatir jika beban ekonomi akan mengganggu tugas mulia Kyai Syadzili sebagai pengajar dan imam. Maka dengan penuh keikhlasan dan keteguhan hati, Nyai Rohmah memutuskan untuk mengambil alih urusan ekonomi keluarga. Beliau pun turun tangan, bekerja dan berjuang mencari nafkah demi kelangsungan hidup keluarga tercinta.
Saat masih kecil, salah satu putra beliau masih sangat ingat setiap kali beliau membutuhkan uang untuk keperluan sekolah dan kebutuhan lainnya, beliau selalu meminta kepada sang ibunda. Suatu ketika Salah satu putra beliau terlambat membayar SPP, rasa takut menyelimuti hati nya sehingga tak berani masuk sekolah dan menangis sejadi-jadinya. Melihat kesedihan itu, sang ibunda mengajak Salah satu putra beliau untuk pergi ke pasar bersama- sama menjual kain yang sudah dibordir. Dengan penuh harapan mereka berkeliling dari toko ke toko, menawarkan kain tersebut. Penolakan demi penolakan mereka terima hingga pulang tanpa membawa uang sepeser pun. Yang luar biasa, di tengah kondisi hidup begitu sulit Nyai Rohmah masih menyempatkan waktu untuk mengaji kepada Kyai Syadzili. Menunjukkan keteguhan hati dan semangat belajar yang tak pernah pudar meski dalam ujian terberat sekalipun.
MENDIRIKAN PESANTREN
Pada saat itu, sudah ada beberapa santri yang muqim di pondok. Santri putra dibuatkan bangunan di tanah masjid, sementara santri putri menempat di ndalem kecil yang sangat sederhana dan kurang layak. Melihat kondisi tersebut, Nyai Rohmah dengan penuh semangat dan kegigihan berusaha untuk mendirikan asrama khusus bagi santri di sepetak tanah milik beliau sendiri.
Awalnya, usaha beliau ini tidak mendapat izin dari Kyai Syadzili. Namun, berkat keteguhan hati dan tekad yang kuat, beliau terus berjuang dan meyakinkan suaminya akan pentingnya keberadaan asrama yang layak bagi para santri. Alhamdulillah, akhirnya beliau mendapatkan restu dan izin dari Kyai Syadzili. Berkat kegigihan dan do’a beliau, terwujudlah sebuah asrama yang dapat ditempati oleh para santri dengan lebih nyaman dan layak. Keberhasilan ini kemudian diperingati setiap tanggal 13 Dzulhijjah sebagai momen yang penuh makna dan menjadi tonggak sejarah penting dalam perjalanan Asy-Syadzili.
MENJADI IBU YANG VISIONER
Di balik wajah beliau yang teduh, Nyai Rohmah adalah sosok yang tegas dan berwibawa. Beliau tidak membeda-bedakan baik itu putra, menantu, santri, saudara, maupun orang lain. Jika beliau mengetahui adanya kesalahan atau perbuatan yang tidak pantas, maka dengan segera mengingatkan bahkan menegur dengan tegas tanpa ragu.
Selain itu, Nyai Rohmah juga dikenal sebagai pelindung yang luar biasa. Salah satu putra beliau masih ingat betul, ketika Kyai Syadzili begitu keras hingga pernah memukul putri dari istri pertama beliau, Nyai Rohmah dengan tegas menjadi tameng bagi putri tirinya itu dan justru Nyai Rohmah yang menerima pukulan tersebut. Pengalaman serupa juga pernah dialami oleh Salah satu putra beliau ketika beliau nakal dan dihajar oleh seseorang, Nyai Rohmah berdiri di antara Salah satu putra beliau dan orang tersebut. Akibatnya, Nyai Rohmah yang dipukuli dan dikejar hingga lari, kejadian itu disaksikan oleh banyak orang. Sikap Nyai Rohmah yang tegas namun penuh kasih itu menunjukkan betapa besar keberanian dan pengorbanan demi melindungi keluarga dan orang yang disayangi.
Di balik hidup yang serba kekurangan, Nyai Rohmah dikenal sebagai sosok yang sangat dermawan. Suatu ketika, salah satu putra beliau hendak membeli rumah, uang pelunasannya dititipkan kepada Nyai Rohmah. Tiba-tiba datang seseorang yang memelas meminta bantuan, tanpa ragu beliau memberikan seluruh uang itu tanpa menyisakan sedikit pun.
Selain kemurahan hati, Nyai Rohmah juga seorang ibu yang visioner dengan pemikiran jauh ke depan, yang kadang sulit diikuti oleh putra-putri beliau. Salah satu contohnya adalah ketika Asy-Syadzili masih sangat sederhana dengan jumlah santri yang terbatas. Beliau meminta agar dibangun sebuah gedung enam lantai, sebuah permintaan yang tidak bisa ditawar. Alhamdulillah, akhirnya terwujudlah Graha Manarul Qur’an, sebuah bangunan megah yang menjadi simbol kemajuan dan harapan bagi Asy- Syadzili.
Mewarisi kehati-hatian sang suami dalam urusan hukum, Nyai Rohmah juga dikenal sangat teliti dan berhati-hati. Hal ini terbukti ketika suami tercinta wafat, beliau tidak mendapat warisan sama sekali. Setelah itu, dari orang-orang yang berziarah terkumpul sejumlah uang, namun Nyai Rohmah tidak berani menggunakan uang tersebut karena ingin membaginya sesuai aturan waris. Namun, putra-putri beliau kemudian menjelaskan bahwa uang itu bukanlah tirkah atau harta peninggalan, sehingga tidak perlu dibagi. Kehati-hatian Nyai Rohmah tidak hanya terlihat dalam urusan harta, tetapi juga dalam segala hal. Nyai Rohmah tidak pernah merasa malu untuk bertanya tentang urusan agama kepada putra dan menantunya. Bahkan, beliau juga rutin mengaji kepada mereka, menunjukkan kerendahan hati dan semangat belajar yang luar biasa, meskipun sebagai sosok ibu dan pemimpin keluarga.
MENGUTAMAKAN PENDIDIKAN PUTRA-PUTRINYA
Diceritakan, saat salah satu putra beliau masih mondok di Singosari untuk menghafal Al-Qur’an, ia sering merasa tidak betah dan kerap pulang dengan berbagai alasan. "saya sering mengadu kepada Ibuk dengan menambahkan bumbu-bumbu agar diizinkan pulang. Alhamdulillah, setiap kali saya curhat Ibuk selalu memperhatikan dengan seksama. Namun, setelah mendengar keluh kesah saya, beliau selalu menegaskan, 'Sudah selesai mengadunya? Kalau sudah, segera kembali' karena tidak boleh boyong sebelum khotam."
Aduan dan curhatan tersebut ia ulang berkali-kali hingga suatu saat Mbah Nyai Rohmah berkata dengan tegas, “Sebagai orang tua, saya tidak mau kalah dengan anak. Apakah kamu tega memasukkan orang tuamu ke dalam neraka?” hingga saat ini, dawuh itu terus terngiang dalam ingatannya, menjadi pengingat yang kuat akan tanggung jawab dan tekad.
Ketika hampir lulus SMA, ia juga pernah mengikuti program PBUD (Penjaringan Bibit Unggul Daerah) di UGM dengan mengambil jurusan kedokteran. Namun, tiba-tiba ia merasa terpanggil untuk mondok di Ploso. Pada saat yang sama, tokoh-tokoh NU mendatanginya dan mendorong agar dirinya tetap melanjutkan kuliah kedokteran, dengan alasan agar ada orang NU yang menjadi dokter. Keinginannya untuk mondok sempat goyah. Namun, Nyai Rohmah kembali memberi nasihat yang menguatkan,
“Kalau sudah punya niat yang baik dan mulia, jangan mudah digoyahkan oleh siapapun.” Nasihat ini menjadi pegangan baginya untuk tetap teguh pada pilihan dan niat yang diyakini.
WAFATNYA SANG SUAMI
Pada akhir tahun 1991 M. Kyai Syadzili wafat. Sekitar 14 hari sebelum wafat, beliau memberikan wasiat kepada Nyai Rohmah (sebagaimana diceritakan Nyai Rohmah kepada Salah satu putra beliau). Di antara wasiat itu adalah agar tidak ada satu pun anak yang putus pendidikan, baik yang mondok, sekolah, maupun kuliah. Padahal saat itu, dari sembilan putra-putri Nyai Rohmah yang sudah menikah hanya satu orang. Dengan demikian, Nyai Rohmah mendapat amanat untuk menuntaskan pendidikan delapan putra-putrinya tanpa peninggalan warisan materi apapun. Pada masa itu, jumlah santri pun masih bisa dihitung dengan jari.
Saat Kyai Syadzili wafat, para santri yang tersisa sowan kepada Nyai Rohmah dan menyampaikan bahwa jika Salah satu putra beliau yang berada di ploso tidak segera pulang, hanya menunggu waktu seluruh santri akan boyong. Namun, dengan tegas Nyai Rohmah berkata, “Apapun yang terjadi, dia harus tetap bertahan di Ploso.” Hal ini beliau lakukan karena ngugemi wasiat dari suami tercinta.
Ketika keadaan sudah sangat menuntut anak tersebut untuk pulang, ia memohon izin kepada Mbah Yai di ploso, ternyata izin itu tidak diberikan. Nyai Rohmah pun meminta agar dia tetap patuh kepada Mbah Yai karena di situ ada hal yang lebih penting yaitu keberkahan.
Inilah episode terberat dalam perjalanan hidup Nyai Rohmah. Beliau harus banting tulang menghidupi keluarga sendirian tanpa modal warisan sedikit pun, sekaligus membiayai pendidikan putra-putrinya sesuai amanat sang suami. Tanpa adanya barang berharga yang bisa dijual, Nyai Rohmah melakukan segala cara demi memenuhi kebutuhan keluarga. Bahkan ketika menanak nasi, beliau sengaja menyisihkan satu genggam beras untuk dikumpulkan selama sebulan penuh sebagai tabungan agar bisa cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Di balik segala kesulitan itu, Nyai Rohmah tetap aktif mendidik para santri dan terlibat dalam berbagai organisasi kemasyarakatan. Yang mengherankan, meskipun hidup dalam keterbatasan, Semua putra-putri beliau tetap tercukupi biaya hidup dan pendidikannya, seolah-olah Nyai Rohmah hidup dalam kondisi berkecukupan.
MEMETIK APA YANG TELAH DITANAM
Alhamdulillah, satu demi satu putra-putri Nyai Rohmah berhasil menuntaskan masa pendidikannya. Bahkan sebagian dari mereka sudah mampu membantu perekonomian keluarga. Pondok pun mulai berkembang dengan bertambahnya jumlah santri. Meski belum sempurna, sudah ada putra yang berkenan mengurus pesantren sehingga pengelolaannya mulai berjalan lebih baik.
Akhirnya, semua putra-putri Nyai Rohmah telah berkeluarga dan terentaskan di bawah asuhan beliau. Berkat perjuangan gigih Nyai Rohmah, berdirilah pesantren Asy-Syadzili 1 hingga 6 yang kini menjadi lembaga pendidikan yang mapan. Tiga putra yang tidak mengasuh pesantren justru aktif di bidang lain; ada yang berkiprah di dunia pendidikan dan ada pula yang mengabdikan diri sebagai dokter di masyarakat. Semua tetap berperan aktif dalam pengembangan pesantren Asy-Syadzili, meneruskan amanah dan visi yang telah diwariskan.
Nyai Rohmah adalah sosok yang sangat aktif dan tak pernah mau berdiam diri, meski usianya telah sepuh. Beliau terus mengajar para santri yang masih belum lancar membaca Al-Qur’an dan dengan penuh perhatian menyimak para santri yang hendak setor hafalan. Selain itu, Nyai Rohmah juga rajin mengaji kepada putra-putranya dan menantunya, menunjukkan semangat belajar yang tak pernah pudar.
Tak hanya itu, beliau mengumpulkan ibu-ibu untuk diajak mengaji bersama dengan mewajibkan putra dan menantu beliau meluangkan waktu khusus untuk membimbing mereka. Yang luar biasa, waktu Nyai Rohmah hampir seluruhnya dihabiskan untuk menghafal Al-Qur’an. Kemanapun beliau pergi, selalu mengajak dua orang santri untuk menyimak hafalannya selama perjalanan.
SEMANGAT WALAU DIUSIA SENJA
Yang paling mengharukan adalah setiap pagi dengan duduk di atas kursi roda, Nyai Rohmah datang ke ndalem Salah satu putra beliau didampingi oleh dua orang santri untuk melanjutkan hafalan Al-Qur’annya. Keteguhan dan kecintaan beliau terhadap Al-Qur’an menjadi teladan yang menginspirasi, menunjukkan bahwa semangat belajar dan pengabdian tidak mengenal batasan usia.
Suatu ketika di Asy-Syadzili 1 sedang berlangsung peringatan Haul Al- Habib Abu Bakar Al-Athos. Karena wabah corona yang sedang merebak, acara yang semestinya diadakan di ndalem Habib Abdurrahman dipindahkan ke pondok. Nyai Rohmah turut hadir saat acara berlangsung, namun di tengah-tengah kegiatan beliau mulai merasa tidak enak badan dan meminta agar dibawa ke rumah sakit.
WAFATNYA SANG UMMUL MA'HAD
Sesampainya di rumah sakit, Nyai Rohmah menjalani tes swab dan hasilnya negatif, sehingga beliau dapat dirawat di kamar perawatan biasa. Alhamdulillah, seluruh keluarga dapat menjenguk beliau di rumah sakit. Namun, tiba-tiba pada malam harinya rumah sakit menghubungi keluarga dan memberitahukan bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan lanjutan, Nyai Rohmah dinyatakan positif terkena virus corona. Oleh karena itu, beliau harus dirujuk ke rumah sakit lain yang khusus menangani pasien Covid-19.
Malam itu, seluruh keluarga berkumpul di rumah sakit karena secara medis kondisi Nyai Rohmah sudah sulit diharapkan untuk sembuh. Beliau pun tidak meminta didoakan agar sembuh, melainkan memohon agar didoakan husnul khotimah. Dengan penuh harap, putra-putri beliau secara bergantian membaca talqin melalui telepon genggam, karena putra dan cucu beliau yang dokter diizinkan mendampingi di ruang perawatan. Di tengah-tengah keluarga membaca talqin, suara lantang Nyai Rohmah terdengar dengan jelas, beliau berdoa, “Ya Allah biha, Ya Allah biha, Ya Allah bihusnul khotimah.” Suara itu menjadi penguat dan penghibur hati di saat- saat penuh ujian tersebut.
Pagi itu, pada hari Selasa, 23 Dzulqo’dah 1441 H. Yang bertepatan pada tanggal
14 Juli 2020 M. Nyai Rohmah menghembuskan nafas terakhirnya. Alhamdulillah, beliau dapat dimandikan dan dikafani oleh keluarga dengan penuh kasih salah satu putra beliaung. Jenazah kemudian dimasukkan ke dalam peti dan dibawa pulang bukan dengan ambulan, melainkan menggunakan mobil beliau sendiri. Sesampainya di pondok, jenazah Nyai Rohmah disholati oleh banyak penta’ziyah yang datang untuk memberikan penghormatan terakhir. Beliau kemudian dimakamkan di area pondok, tempat yang selama ini menjadi pusat perjuangan dan pengabdian beliau. Saat itu Salah satu putra beliau teringat betul bahwa setiap pagi menjelang wafatnya, Nyai Rohmah selalu rawuh ke pondok, seolah memberi isyarat bahwa beliau akan bersemayam di sana, untuk tetap menemani dan menjaga para santrinya walau sudah tiada.
Alhamdulillah, ketika pemakaman Nyai Rohmah, Salah satu putra beliau mendapat kesempatan untuk mendampingi hingga ke liang lahat, meskipun tanpa mengenakan APD (pakaian khusus untuk jenazah Covid). Selama tujuh hari tahlil berlangsung, selalu ramai dihadiri oleh banyak orang yang datang untuk mendoakan beliau. Para penta’ziyah pun tak pernah berhenti memberikan penghormatan, sebuah hal yang tidak lazim terjadi pada jenazah Covid lainnya. Setelah tujuh hari, semua yang mendampingi Nyai Rohmah dari rumah sakit hingga pemakaman menjalani tes swab. Alhamdulillah, berkah dari beliau, tidak ada satu pun yang terjangkit wabah ini.
Kami semua sangat merindukan Panjenengan, Nyai Rohmah. Semoga kelak kami diberi kesempatan untuk berkumpul kembali bersama Panjenengan di tempat yang penuh rahmat dan kedamaian.
Alfatihah..