KH. Abdul Mun’im Syadzili atau akrab disapa dengan nama Gus Mun’im adalah salah satu
putra dari KH. Ahmad Syadzili Muhdlor, dan kini menjadi salah satu putra yang meneruskan
perjuangan dakwah ayahandanya dengan mengemban amanah menjadi pengasuh PPSQ Asy-Syadzili
1. Di masa mudanya beliau pernah menempuh pendidikan (agama) dengan mondok di salah satu
pondok di daerah Singosari, Malang yang diasuh oleh Kyai Miftah Abu Amar serta juga
mondok di Pondok Pesantren Al-Falah Ploso, Kediri.
Selain itu beliau juga menempuh
pendidikan formal di SMPN 01 Pakis, Malang dan juga di SMANETA (SMA Negeri Tumpang)
Tumpang, Malang. Ada sedikit kisah menarik ketika beliau mondok untuk menghafal
Al-Qur’an di pondok daerah Singosari. Pada awalnya beliau ingin menyelesaikan hafalan
qur’annya dalam kurun waktu 4 bulan saja, akan tetapi ternyata tidak sesuai target, dan
meleset hingga menjadi 6 bulan, mungkin karena saat mondok beliau sambil berjualan
bensin yang tak lain atas perintah gurunya. Selanjutnya beliau melanjutkan mondok di PP
Al-Falah Ploso, Kediri dibawah asuhan putra-putri KH Djazuli Utsman.
Belum tuntas
belajar, beliau dikejutkan atas wafatnya ayahandanya (KH. Ahmad Syadzili Muhdlor).
Dengan keadaan yang seperti itu, otomatis beliau dituntut untuk melanjutkan perjuangan
ayahandanya dalam mengasuh pondok, namun demikian Gus Mun’im muda tetap bertekad untuk
menyelesaikan pendidkannya, meskipun sebenarnya beliau juga dilema mengingat sepeninggal
ayahanda beliau santri hanya di asuh oleh ibunda beliau dan dibantu beberpa santri
senior, dan keadaan itu berjalan sampai 4 tahun lamanya. Selama masa 4 tahun itu pula,
kehawatiran Gus Mun’im muda akan santri ayahandanya sering membawa beliau bertemu dengan
KH.Ahmad Syadzili Muhdlor melalui mimpi, dalam mimpi - mimpi itu Gus Mun’im muda sering
meminta izin pada ayahanda beliau untuk pulang, akan tetapi ayahanda beliau selalu
menolak permintaan beliau untuk pulang membantu ibunda beliau.
Hingga suatu hari saat
beliau sedang menikmati manisnya menuntut ilmu, tiba - tiba KH. Ahmad Syadzili Muhdlor
(ayahanda beliau) hadir kembali melalui mimpi. Namun pada mimpinya saat itu ada yang
berbeda, dalam mimpi itu tiba - tiba ayahanda beliau dawuh kalau beliau harus pulang,
sambil berpesan agar para santri diajari Tafsir dan kitab Bidayatul Hidayah. Semenjak
mimpi itu beliau kembali dilema, karna Gus Mun’im muda sebenarnya saat itu berharap
dilarang pulang seperti biasanya. Karena beliau masih merasa kurang dan sangat menikmati
dalam menuntut Ilmu. Tapi mimpi itu tetap beliau haturkan dan adukan kepada Sang Guru
yakni KH. Nurul Huda Djazuli. Setelah mendapatkan mimpi tersebut, beliau segera sowan
kepada KH. Nurul Huda Djazuli untuk mengabarkan isi dari mimpi tersebut, dan respon dari
KH. Nurul Huda Djazuli adalah “aku percoyo mimpi iku bener, tapi tetep gak oleh boyong”.
Beliau bingung karena di satu sisi ayahandanya KH. Ahmad Syadzili Muhdlor meminta untuk
segera menetap di rumah saja, tapi di sisi lain guru beliau meminta untuk jangan boyong.
Akan tetapi beliau memutuskan untuk sam’an wato’atan atas dawuh KH. Nurul Huda Djazuli
tersebut. Hingga pada suatu hari Gus Mun’im muda mendapat restu dari KH.Nurul Huda
Djazuli adik dari KH.Zainuddin Djazuli, akan bolehnya beliau untuk pulang pergi dari PP
Al Falah Ploso ke kediaman beliau di Malang. Berkaitan dengan hal tersebut, beliau
membagi hari – harinya masing – masing 3 hari di Kediri dan 3 hari di Malang. Dan Beliau
menjalani itu semua dengan sabar dan disiplin, pulang pergi Malang Kediri selama 3 tahun
lamanya, sampai benar - benar diperbolehkan oleh para Masyayikh PP Al-Falah Ploso untuk
menetap di rumah untuk seterusnya. Dan pada akhirnya beliau mulai memahami apa yang
dimaksud oleh guru beliau (KH. Nurul Huda Djazuli), yaitu harus tetap menjadi santri,
tidak boleh boyong, hanya pindah tempat tinggal saja yang awalnya dari PP Al-Falah Ploso
menjadi menetap di rumah.
Selain kisah beliau dalam menuntut ilmu yang bisa dibilang sangatlah unik, beliau juga
memiliki cukup banyak prestasi salah satunya adalah beliau pernah meraih juara pada
ajang Musabaqoh Karya Tafsir, yang mana prestasi ini diraih baik di tingkat nasional
hingga internasional. Untuk tingkat internasional sendiri beliau harus bersaing dengan
peserta dari negara-negara Arab yang mana terdiri dari beberapa golongan baik itu dari
sunni, wahabi, syi’ah, dsb. Meski begitu Tafsir karya beliau dinobatkan sebagai yang
terbaik (juara 1) dan diterima oleh semua kalangan di atas (sunni, wahabi, syi’ah, dsb).
Beliau juga menulis buku Qiro’at untuk mempermudah para santri dalam belajar Qiro’atul
‘Asyr (10 Qiro’ah), yaitu buku “Pengantar Ilmu Qiro’at 10 (Kaidah-kaidah Bacaan
Al-Qur’an yang Mutawatir dari Rasulullah Menurut 10 Imam Qiro’at dalam Thoriqoh
Syathibiyah dan Durroh). Buku ini juga diharapkan sebagai salah satu gerakan dalam
melestarikan bacaan-bacaan yang mutawatir dari Rasulullah.
Selain memiliki banyak prestasi pribadi, beliau juga aktif di beberapa organisasi mulai
dari tingkat kabupaten hingga provinsi. Beberapa organisasi yang beliau ikuti adalah
sebagai berikut :
Forum Silaturahmi Qurro’ Huffadz (FSQH) Malang Raya, Ketua Forum Pekerja Nasional (FPP),
Ketua IMAP (Alumni Al-Falah Ploso) Malang Raya, Ketua Bahtsul Masa’il eks Kawedanan
Tumpang, Ketua RMI Kabupaten Malang, Rois Majelis Ilmi JQHNU Kabupaten Malang, hingga
didaulat sebagai wakil Rois Majelis Ilmi JQHNU Jatim, serta menjadi A’wan PCNU Kabupaten
Malang. Beliau sangat aktif dalam menghidupkan organisasi NU, sebagai salah satu khidmat
beliau dalam membesarkan NU di manapun.
“Berkhidmat di NU adalah bagian melestarikan amanah ulama’ NU dan Masyayikh Nusantara,
pantang bagi kita untuk berhenti tidak melayani umat dan warga NU, sebab keberkahan dan
ibadah didalamnya adalah bagian dari doa dan kecintaan kita kepada para ulama’ dan Nabi
kita tercinta, Nabi Muhammad SAW.”
Sebagai seoarang ulama’ dan juga aktivis NU yang sudah pasti banyak disibukkan oleh
kepentingan umat, beliau tidak meninggalkan suatu prinsip Salafunas Sholih akan
pentinganya cinta dan hormat kepada Dzurriyaturrosul, yang biasa kita kenal dengan
sebutan Haba’ib. Hal itu sebagai bentuk wasilah dan taqorrub ilallohi warosulihi . Hal
itu terbukti dari keistiqomahan beliau mengundang/melibatkan para Haba’ib dalam setiap
acara besar/penting di Pesantren.
Pernah didawuhkan oleh beliau “ Aku lek ngadakno acara
lek gak onok Habib iki rasane gak Afdzol koyok kurang barokah” (Saya kalau mengadakan
acara jika tidak ada habaibnya itu rasanya nggak afdzol, seperti kurang barokah), bahkan
dalam kondisi tersulitpun beliau sangat percaya akan adanya barokah dari cucu Nabi
Muhamad SAW itu. Bukan hanya itu, sebagai Pengasuh Pesantren dengan rentetan prestasi
tersebut diatas, beliau sampai sekarang masih tidak berhenti mencari ilmu dan tabarrukan
(mengambil barokah) dengan ngaji bersama para santrinya kepada Habib Muhammad bin Idrus
Al Haddad setiap satu minggu dua kali. Hal itu selaras dengan dawuh beliau yaitu,
“pemimpin yang baik itu bisa memimpin dan bisa dipimpin”. Dari semua bentuk tabarrukan
kepada Haba’ib tersebut juga sebagai tarbiyah dan tirakat untuk para santri yang menimba
ilmu kepada beliau agar tercapai cita - cita santrinya untuk menjadi para Ahlul Qur’an
Lafdhon, Ma’nan wa’Amalan.