“.....kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja. Tidak.....”
Kutipan cerpen di atas ditulis oleh A.A. Navis sastrawan besar yang telah melahirkan karya-karya monumental dalam sejarah sastra indonesia. Pemikirannya yang kritis dapat dijadikan sebuah otokritik bagi setiap pemeluk agama di indonesia dan mana pun juga. Silakan bercermin pada cerpen-cerpen yang ada dalam kumpulan ini. Lalu putuskan, apakah kita akan menarik hikmah dan manfaat atau bersikap buruk rupa, cermin dibelah.” [1]
Ali Akbar Navis, lahir di kampung jawa, padang Panjang, Sumatera barat pada 17 November 1924 dan meninggal pada 22 Maret 2003 di padang setelah menjalani perawatan di rumah sakit jantung harapan Jakarta.
Cerpen “Robohnya surau kami” pertama kali terbit dalam majalah kisah pada tahun 1955 dan menerima penghargaan SEA write award pada tahun 1992, saat pertama kali terbit, “Robohnya surau kami” mengejutkan kalangan pembaca maupun para kritikus sastra, pasalnya, cerpen tersebut menuai kritik terhadap kekolotan kehidupan Masyarakat beragama pada saat itu, yang bahkan masih sangat relevan sampai hari ini. Setahun setelah terbit di majalah kisah, “robohnya surau kami” dijadikan judul dari Kumpulan cerpen A.A. Navis yang berisi 10 cerpen : Robohnya Surau Kami, Anak Kebanggaan, Nasihat-nasihat, Topi Helm, Datangnya dan Perginya, Pada Pembotakan Terakhir, Angin dari Gunung, Menanti Kelahiran, Penolong, dan Dari Masa ke Masa.
“Robohnya surau kami” mengisahkan seorang kakek penjaga surau yang sepanjang hidupnya dihabiskan untuk beribadat kepada Allah, setiap detiknya hanya berdzikir dan menyembah atas kehadiratnya, enggan memiliki istri maupun anak. Baginya, hidup hanya untuk tuhan semata, persetan dengan dunia. Hingga satu waktu, si “Aku” sebagai pemeran utama bertemu sang kakek yang sedang terduduk sambil meringkuk di sudut pojok surau. Si Aku yang semula ingin memberi upah kepada kakek menjadi urung setelah melihat kondisi nya yang berantakan Dan duduk perkara semua itu ternyata adalah ulah ajo sidi, seorang pembual yang cerita cerita nya sangat digandrungi orang-orang desa. Meskipun semua bualan nya terkesan aneh, namun ajo sidi selalu mengaitkan bualannya dengan kehidupan seseorang, dengan begitu pendengarnya seperti mendapat contoh nyata dari bualan-bualan tersebut.
Kiranya, itulah yang kakek rasakan. Satu waktu ajo sidi bercerita tentang haji saleh, seorang yang taat Ketika di dunia kini berdiri di akhirat menunggu pengadilan oleh tuhan. Karena percaya diri dengan seluruh amalan nya, haji saleh santai saja saat mengantri untuk diadili. Hingga sampai gilirannya, tuhan menanyakan apa saja yang diperbuatnya saat di dunia, dengan ringan haji saleh menjawab “aku menyembah engkau selalu, tuhanku” sampai tuhan mengulangi beberapa kali pertanyaannya, jawaban haji saleh tak bergeser dari taat kepada tuhan. Hingga akhirnya tuhan mengutus malaikat untuk menggiring haji saleh ke dalam neraka. Sebagaimana dengan penghuni yang lain, di dalam neraka haji saleh bingung dan kecewa dengan Keputusan tuhannya, bagaimana mungkin seorang yang taat sepertinya di masukkan ke dalam neraka? Maka beberapa dari mereka berencana untuk membuat pergerakan atas kekecewaan mereka kepada sang tuhan, ya, mereka akan melakukan demonstrasi terhadap tuhan, dikomandoi langsung oleh haji saleh.
Maka sampailah mereka dihadapan tuhan, disampaikanlah rasa gundah mereka, mengapa orang-orang taat seperti mereka bukan termasuk ahli surganya melainkan ditempatkan Bersama kafir dan pendosa. setelah beberapa pertanyaan dari tuhan dan jawaban dari mereka, maka tercengang lah mereka mendengar pernyataan tuhan setelahnya. Berikut beberapa kutipannya.
"…Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. Hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya!..."
Mendengar bualan itu, agaknya sang kakek merasa tertampar, hingga Keesokan harinya setelah kakek bercerita tentang bualannya ajo sidi, kakek ditemukan meninggal dengan menggorok lehernya sendiri. Si aku setelah mendengar kabar itu berlari menuju rumah ajo sidi untuk dimintai pertanggung jawaban, yang menurutnya perkara ini adalah ulah dari bualannya ajo sidi. Sesampainya dirumah ajo sidi, yang dicari ternyata tak dijumpa, istri ajo sidi bilang kalau suaminya sudah berangkat kerja, dan hanya menitip pesan agar dibelikan kain kafan tujuh lapis untuk sang kakek.
A.A. Navis sukses memberikan perspektif yang sungguh luar biasa Di akhir ceritanya, bayangan ajo sidi yang semula Nampak seperti antagonis dapat dipatahkan di kalimat akhir cerpennya, membuat pembaca harus mencerna kembali kalimat tersebut.
A.A. Navis juga begitu culas menggambarkan kekolotan berpikir umat beragama pada zaman itu, yang mungkin masih begitu relevan sampai detik ini. Menurut Navis, beragama tak selamanya tentang rukuk dan sujud, tak selamanya menjadikan masjid sebagai simbol bahwa kita taat dalam beribadah. Peduli pada sekitar pun adalah ibadah, tidak membiarkan orang dzolim mengambil hak kita pun termasuk ibadah, bekerja demi menghidupi anak cucu pun juga ibadah, tak ada yang boleh menghalangi kepenuhan duniawi kita untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Disisi lain, sifat egoistis manusia juga disebut Navis dalam dialog antara haji saleh dan malaikat.
“…Semua menjadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka sekarang apa jalan yang diridai Allah di dunia. Tapi Haji Saleh ingin juga kepastian apakah yang akan dikerjakannya di dunia itu salah atau benar. Tapi ia tak berani bertanya kepada Tuhan. Ia bertanya saja pada malaikat yang menggiring mereka itu.
‘Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami, menyembah Tuhan di dunia?’ tanya Haji Saleh.
‘Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat sembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun…”
Dalam dialog tersebut, nampaklah borok yang dipelihara haji saleh selama di dunia, bahwa dia mementingkan sendiri kepenuhan akhiratnya, tanpa pernah peduli pada kehidupan sekitar yang membuat semuanya jauh akan ridho Allah. Dari sini kita dapat berkaca, mungkin hari ini kita adalah haji saleh yang menjelma keacuhan, tak perlu menoleh ke kanan kiri, cukup kita melihat kepada diri sendiri, barangkali, haji saleh adalah Gambaran kita kelak dihadapan Allah, yang Dimana tujuan kita melakukan ibadah bukan karena mengharap ridhonya, melainkan indah surga semata.
Cerita ini sangat menarik, kalian dapat membeli bukunya di toko buku terdekat, atau mendapatkan digital book nya di platform yang tersedia. Selamat membaca dan temui hikmahnya.