Pada awalnya, bunyi sila pertama dalam pancasila pada piagam Jakarta adalah "Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya." Yang kemudian dihapus dan diganti menjadi "Ketuhanan yang maha Esa."
Penghapusan ini diusulkan oleh delegasi Indonesia timur yang meliputi Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua. Keberatan ini didasari oleh kekhawatiran bahwa frasa tersebut dapat menimbulkan perpecahan dan diskriminasi terhadap warga negara Indonesia yang beragama non-Muslim.
Lantas, apa makna dan dampak perubahan penghapusan tujuh kata ini?
Penghapusan "tujuh kata" ini bukan sekadar perubahan redaksional, melainkan sebuah keputusan politik yang sangat strategis dan visioner. Keputusan ini menunjukkan komitmen para pendiri bangsa untuk membangun negara Indonesia yang inklusif, berdasarkan prinsip kebinekaan, karena:
1. Menjaga Persatuan dan Kesatuan Bangsa: Dengan dihilangkannya frasa tersebut, Pancasila mampu merangkul seluruh elemen bangsa Indonesia, tanpa memandang suku, agama, ras, dan golongan. Ini mencegah potensi perpecahan yang serius pada awal kemerdekaan.
2. Menegaskan Negara Kesatuan: Perubahan ini memperkuat konsep Indonesia sebagai negara kesatuan yang tidak berdasarkan pada satu agama tertentu, melainkan mengakomodasi keberagaman keyakinan.
3. Memperkuat Toleransi Beragama: Sila "Ketuhanan Yang Maha Esa" menekankan pada pengakuan adanya Tuhan bagi setiap warga negara, namun memberikan kebebasan bagi setiap individu untuk memeluk dan menjalankan agamanya masing-masing tanpa paksaan atau diskriminasi. Ini menjadi fondasi penting bagi kehidupan beragama yang harmonis di Indonesia.
Keputusan menghapus "tujuh kata" adalah salah satu momen paling penting dalam sejarah perumusan Pancasila. Ini adalah bukti bahwa para pendiri bangsa mengutamakan persatuan di atas segala perbedaan, menjadikan Pancasila sebagai ideologi yang relevan dan mampu menyatukan masyarakat Indonesia yang majemuk hingga saat ini.